
Gubernur Konten” disematkan kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, oleh Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, dalam sebuah rapat antara sejumlah gubernur dan Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Selasa (29/4/2025).
“Yang saya hormati Bu Wamendagri, terima kasih banyak Ibu Wamen, dan seluruh gubernur yang hadir hari ini. Kang Dedi, Gubernur Konten. Mantap nih Kang Dedi,” ujar Rudy dalam sambutannya yang disambut gelak tawa peserta rapat.
Setelah Rudy menyampaikan pemaparan soal kinerja pemerintahannya di Kalimantan Timur, giliran Dedi Mulyadi menyampaikan presentasinya. Di akhir sesi, Dedi menanggapi julukan tersebut dengan santai namun penuh makna.
Menanggapi pernyataan Rudy Mas’ud, Dedi mengaku bahwa aktivitasnya di media sosial memang cukup aktif.
Namun, menurutnya, hal itu bukan sekadar untuk popularitas pribadi, melainkan juga membawa dampak efisiensi bagi anggaran pemerintah provinsi.
“Dan terakhir tadi Pak Gubernur Kaltim mengatakan Gubernur Konten. Alhamdulillah, dari konten yang saya miliki itu bisa menurunkan belanja rutin iklan,” kata Dedi.
Dedi menyebut bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat biasanya mengalokasikan anggaran sekitar Rp 50 miliar per tahun untuk kerja sama media dalam bentuk iklan pemerintah.
Namun, dengan tingginya eksposur kontennya yang kerap viral di media sosial, ia mengklaim mampu memangkas pengeluaran itu secara drastis.
“Biasanya iklan di Pemprov Jabar kerja sama medianya Rp 50 miliar. Sekarang cukup Rp 3 miliar tapi viral terus. Terima kasih,” lanjutnya.
Apa Efek Penggunaan Media Sosial oleh Kepala Daerah?
Fenomena kepala daerah aktif membuat konten di media sosial bukanlah hal baru. Namun, Dedi Mulyadi menjadi salah satu contoh nyata bagaimana strategi digital bisa diterapkan dalam kepemimpinan pemerintahan daerah.
Aktivitasnya yang sering membagikan video pertemuan dengan warga, aksi sosial, atau bahkan debat langsung dengan masyarakat, telah mengundang perhatian luas publik.
Efeknya, selain peningkatan engagement publik, juga berimplikasi langsung pada efisiensi biaya komunikasi publik.
Dengan ribuan hingga jutaan penonton tiap kontennya, informasi program pemerintah tersampaikan tanpa harus mengandalkan media konvensional.
Strategi Dedi tentu tidak serta-merta bisa diterapkan oleh semua kepala daerah. Selain kemampuan berkomunikasi yang baik, dibutuhkan juga tim digital yang solid dan pemahaman terhadap dinamika media sosial.
Namun, langkah ini membuka perspektif baru dalam pengelolaan anggaran komunikasi publik di tengah era digital.
Meskipun ada pihak yang menilai bahwa kegiatan semacam ini bisa menjurus pada pencitraan berlebihan, efisiensi yang ditunjukkan Dedi Mulyadi memberikan bukti bahwa konten bisa menjadi alat komunikasi yang sah dan efektif bila dikelola dengan benar.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Disebut “Gubernur Konten”, Dedi Mulyadi: Viral Terus, Belanja Iklan dari Rp 50 M Jadi Rp 3 M Saja“.