
Hari Lahir Pancasila, menandai momen bersejarah ketika Soekarno menyampaikan pidato monumental di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945.
Momen tersebut menjadi tonggak penting dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Sidang BPUPKI dan Lahirnya Gagasan Dasar Negara
BPUPKI dibentuk oleh Jepang pada 29 April 1945 untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Sidang pertamanya dilaksanakan pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945 di Gedung Chuo Sangi In, kini dikenal sebagai Gedung Pancasila.
Pada hari terakhir sidang, 1 Juni 1945, Soekarno tampil berpidato tanpa teks dan menyampaikan gagasan tentang dasar negara Indonesia.
Dalam pidato itu, ia mengusulkan lima prinsip utama yang kemudian dikenal sebagai Pancasila, yaitu:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme atau perikemanusiaan
- Mufakat atau demokrasi
- Kesejahteraan sosial
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Soekarno mengatakan bahwa kelima prinsip tersebut merupakan dasar filosofis, “philosofische grondslag”, bagi Indonesia Merdeka.
“Philosofische grondslag itulah pundamen, filosofi, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa… untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,” tegas Soekarno dalam pidatonya.
Perjuangan Mencapai Konsensus Nasional
Meski pidato Soekarno menjadi fondasi awal, belum ada kesepakatan final soal dasar negara pada saat itu.
Sebuah Panitia Kecil lalu dibentuk, yang kemudian berkembang menjadi Panitia Sembilan. Hasilnya adalah Piagam Jakarta yang dirumuskan pada 22 Juni 1945.
Namun, butir pertama dalam Piagam Jakarta, yakni “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menimbulkan kontroversi.
Demi persatuan nasional, rumusan itu kemudian diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan disahkan dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945.
Pancasila resmi dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia.
Isi Penggalan Pidato Soekarno 1 Juni 1945
Dalam pidato sepanjang hampir dua jam, Soekarno menyampaikan urgensi kemerdekaan tanpa menunggu semua persoalan negara terselesaikan terlebih dahulu:
“Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, – sampai di lobang kubur!”