
Hikmahanto Juwana, mendorong pemerintah untuk mengkaji usulan melegalkan kasino di Indonesia sebagai upaya untuk meningkatkan devisa negara.
Menurutnya, pemerintah bisa melakukannya dengan mempelajari kebijakan yang telah diterapkan di Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia
“Indonesia juga sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, sama seperti UEA yang kini tengah membangun kasino besar di negaranya dan Malaysia yang secara resmi telah melegalkan kasino pada tahun 1969,” kata Hikmahanto Juwana di Bekasi, Sabtu (17/5/2025).
Menurutnya, pemerintah harus membuka mata untuk menyikapi hal tersebut dengan melakukan asesmen atau penilaian objektif terhadap tiga hal penting terkait legalisasi kasino.
Hikmahanto menyebut, langkah pertama adalah pemerintah dapat melakukan asesmen terhadap aspek perputaran uang dalam praktik judi.
Hal ini karena berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), jumlah perputaran uang pada judi daring yang dioperasikan dari Kamboja dan Myanmar sangat besar.
“Yang kedua adalah apakah memang bisa rakyat kita yang katanya mayoritas beragama Islam, terus sangat beragama, untuk melepaskan diri dari judi? Ternyata kan tidak,” ujar Hikmahanto.
Poin ketiga yang tidak kalah penting adalah penegakan hukum di Indonesia. Meskipun pemerintah beberapa kali berniat memberantas korporasi judi daring, permasalahannya adalah korporasi tersebut berada di negara yang melegalkan kasino seperti Kamboja dan Myanmar.
“Nah kalau misalnya tiga hal ini setelah dilakukan asesmen dan menurut kita tidak bisa diselesaikan, bukan tidak mungkin kalau pemerintah memutuskan untuk buat kasino tapi di kawasan tertentu saja,” jelasnya.
Ia juga mencontohkan kebijakan negara tetangga yang mengatur hal tersebut.
“Seperti kawasan ekonomi khusus di Genting, Malaysia atau di Singapura juga ada. Tapi, untuk warga Singapura kalau mereka mau berjudi di situ, mereka harus ada syarat ketat,” tambahnya.
Hikmahanto juga mengatakan bahwa meski Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim, namun aktivitas judi tetap tinggi.
Ia juga menyebut bahwa pada era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, aktivitas judi dilegalkan dengan bentuk-bentuk seperti Porkas dan SDSB.
“Waktu itu kemudian juga kita ada Porkas, ada SDSB, itu kan sebenarnya juga bentuk-bentuk seperti itu. Nah tapi sekarang kita cuma lokalisir saja dan penggunaan dananya nanti misalnya dari pajak yang dihasilkan dan lain sebagainya,” katanya.
“Tapi tentu dana tersebut untuk kepentingan yang tidak menyentuh, katakanlah hal-hal yang terkait dengan agama dan lain sebagainya,” imbuh Hikmahanto.